Mengapa KHR As’ad Syamsul Arifin Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional?
Kamis, 10 November 2016 06:45
Momen yang ditunggu-tunggu para santri akhirnya datang
juga. KH Raden As'ad Syamsul Arifin (1890-1990 M) Asembagus Situbondo, Jawa
Timur ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pemberian anugerah Pahlawan
Nasional tersebut berlangsung di Istana Negara Jakarta, Rabu (9/11) oleh
Presiden RI Joko Widodo.
“Kami, para santri beliau ikut senang dan bangga
dengan penganugerahan ini,” ujar KH Abdul Moqsith Ghazali, salah seorang santri
Kiai As’ad lewat keterangan tertulisnya kepada NU Online, Rabu
(9/11).
Menurutnya, Kiai As'ad memang pantas mendapatkan gelar
ini. Beliau berperang mengusir para penjajah dari tanah air. Memimpin pasukan,
keluar masuk hutan, membangun kekuatan melawan para penjajah. Para penjajah
yang menguasai daerah eks keresidenan Besuki seperti Jember, Lumajang,
Bondowoso dan Situbondo akhirnya bisa dipukul mundur.
“Namun, pada hemat saya, Kiai As'ad layak mendapatkan
gelar pahlawan bukan hanya karena ikut berperang merebut kemerdekaan, tetapi ia
juga berjuang melalui pendidikan. Pesantren yang didirikan bersama ayahandanya
sejak tahun 1914 telah lama menjadi lembaga pendidikan murah bahkan gratis buat
masyarakat tidak mampu,” urai Kiai Moqsith yang juga Wakil Ketua Lembaga
Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Kini di pesantrennya tak kurang dari lima belas ribu
santri yang belajar di sana, dari paling bawah seperti TK hingga perguruan
tinggi. Para santri tak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman tradisional melainkan
juga ilmu-ilmu umum seperti kelautan, informatika, dan pertanian.
Tak hanya itu, lanjut Dosen Pascasarjana STAINU
Jakarta ini, ketika banyak ulama ragu-ragu untuk menerima Pancasila, bersama
sejumlah ulama lain Kiai As'ad menegaskan pentingnya merujuk Pancasila terutama
untuk mengatasi soal-soal kebangsaan dan kenegaraan.
“Suatu waktu Kiai As'ad bercerita bahwa dirinya
menerima surat kaleng dari orang-orang yang anti Pancasila. Tapi, Kiai As'ad
tak menghiraukannya. Bagi Kiai As'ad, Pancasila tak bertentangan dengan Islam.
Bahkan, menurutnya, sila pertama Pancasila merupakan cerminan dari ajaran
tauhid dalam Islam,” ungkapnya.
Semangat berjuang membela negara dan memperbaiki
pendidikan umat itu terus diinjeksikan pada para santrinya. Empat tahun menjadi
santrinya, Moqsith sering mendengar ceramah-ceramahnya terkait kebangsaan dan
kenegaraan, di samping soal keislaman.
Mendengar ceramah-ceramah Kiai As'ad seperti membaca
buku-buku sejarah. Ini karena beliau salah seorang pelaku sejarah. Namun, di
ujungnya pidatonya, Kiai As'ad biasanya berpesan agar kisah perjuangannya tak dituliskan.
“Bahkan, ketika salah seorang intelektual NU
menawarkan diri untuk menulis biografinya, Kiai As'ad marah. Ia merasa,
perjuangannya tak pantas untuk dicatat,” terang kiai yang juga pengajar di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menandaskan, tentu gelar kepahlawanan ini bukanlah
cita-citanya. Semua gerak langkahnya hanya diniatkan untuk memperoleh Ridha
Allah SWT, bukan untuk memperoleh anugerah duniawi seperti ini. Tapi, seperti
dikatakan banyak orang, negara besar adalah negara yang pandai menghargai para
pejuangnya.
KHR As’ad
Syamsul Arifin Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Rabu, 09 November 2016 12:04
Jakarta, NU Online
Gelar Pahlawan Nasional tahun ini akan dianugerahkan
kepada tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KHR As’ad Syamsul Arifin di Istana Negara
hari ini, Rabu (9/11).
Keterangan yang diterima NU Online, KHR
As’ad Syamsul Arifin dianugerahi Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan
Presiden (Keppres) RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 tanggal 3 November 2016 yang
menetapkan Keputusan Presiden tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Negara menilai bahwa KHR As’ad Syamsul Arifin semasa
hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan
politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut,
mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa.
KHR As'ad Syamsul Arifin lahir tahun 1897 di Mekkah
dan wafat pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Kiai As'ad merupakan
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kecamatan
Asembagus, Kabupaten Situbondo.
Kiai As'ad merupakan putera dari Raden Ibrahim dan
Siti Maimunah. Kedua orang tuanya berasal dari Pamekasan, Madura. Ayah dari
Kiai As'ad, yakni Raden Saleh lebih dikenal dengan sebutan KH Syamsul Arifin.
Dia masih keturunan dari Sunan Ampel. Sedangkan ibunya, Siti Maimunah, masih
keturunan dari Pangeran Ketandur yang merupakan cucu Sunan Kudus.
Kiai As’ad menduduki jabatan terkahir di PBNU sebagai
Mustasyar (Dewan Penasihat). Beliau juga termasuk salah satu tokoh pendiri NU
dan pernah menjadi Anggota Konstituante (1957-1959)
Sumber : NUONLINE